TPUA HAUS KEGADUHAN. TPUA TOLAK UJI FORENSIK IJAZAH JOKOWI, BARESKRIM: KAMI KERJA PROFESIONAL.
TPUA TOLAK UJI FORENSIK IJAZAH JOKOWI, BARESKRIM: KAMI KERJA PROFESIONAL.
Bareskrim Polri akhirnya angkat bicara dengan penuh kesabaran surgawi—dan mungkin juga sedikit rasa geli yang mereka simpan dalam-dalam—menanggapi drama yang semakin panjang dan membosankan soal ijazah Presiden Joko Widodo. Kali ini, para pesulap hukum dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) kembali muncul ke permukaan, menolak hasil uji forensik ijazah Jokowi yang dilakukan Bareskrim. Ya, mereka menolak, seperti biasanya. Mereka menolak akal sehat, menolak fakta, dan tampaknya juga menolak hidup damai tanpa teori konspirasi.
Brigadir Jenderal Polisi Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, menyampaikan dengan nada datar tapi mungkin dalam hati sudah menahan tawa, bahwa Bareskrim bekerja secara profesional dalam menangani persoalan ini. Saking profesionalnya, mungkin hanya TPUA yang tidak bisa melihat, karena mereka tampaknya lebih suka membaca daun teh atau hasil perhitungan numerologi ketimbang laporan forensik resmi.
“Tidak ada tanggapan,” kata Djuhandhani, ketika ditanya tentang ocehan TPUA yang menolak hasil uji forensik itu. Dan kita semua bisa membayangkan bagaimana beliau mengucapkannya: tanpa emosi, tanpa kejutan, hanya rasa lelah menghadapi sekelompok orang yang kalau diminta membuktikan matahari bersinar pun akan bilang, “Kami butuh uji forensik dari luar negeri yang independen.”
Tapi mari kita bahas lebih lanjut, karena kejenakaan ini tidak boleh berhenti di satu paragraf saja. TPUA—organisasi yang namanya seolah-olah mewakili kepentingan umat, padahal sibuk membuat seminar tentang kecurigaan kosmik—menyatakan bahwa Bareskrim tidak menggunakan metode scientific crime investigation yang benar. Tentu saja, TPUA tidak menjelaskan apa sebenarnya metode itu. Bisa jadi, dalam versi mereka, metode ilmiah melibatkan jampi-jampi, aroma menyan, dan mesin waktu buatan rumah.
Menurut Rizal Fadilah, yang memperkenalkan dirinya sebagai Wakil Ketua TPUA, hasil uji forensik Bareskrim itu “tidak memenuhi kaidah scientific crime investigation yang objektif dan transparan.” Sebuah pernyataan megah, panjang, penuh istilah asing, tapi sayangnya—tak ada isinya. Seperti kaleng kosong yang dilempar ke jalanan, bunyinya nyaring, tapi tidak ada substansinya.
Rizal menuduh ada “penyalahgunaan wewenang.” Wah, ini tuduhan serius! Tapi datang dari TPUA, kita sudah belajar untuk menganggap semua tuduhan mereka seperti popcorn murahan: banyak, ringan, dan cepat melempem.
Bareskrim sendiri tidak tinggal diam menghadapi ocehan yang kian hari kian absurd. Djuhandhani menjelaskan bahwa proses uji forensik dilakukan dengan melibatkan berbagai unsur internal yang kredibel: Wasidik, Propam, Itwasum, dan Divkum. Semua proses dilakukan secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan. Tapi apakah penjelasan itu cukup untuk TPUA? Tentu tidak. Karena bagi mereka, satu-satunya proses yang benar adalah proses yang bisa membenarkan ilusi mereka. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan keyakinan mereka, maka sistemnya dianggap rusak, aktornya korup, dan semestanya palsu.
Seandainya Jokowi sendiri muncul ke depan kamera, membawa ijazah asli, lengkap dengan tanda tangan dekan, stempel basah, bahkan rekaman video wisuda, bisa jadi TPUA akan berkata, “Itu deepfake! CGI! Ada teknologi AI sekarang!” Dan kalau diberikan mesin waktu untuk menyaksikan langsung Jokowi kuliah di UGM tahun 80-an, mereka tetap akan bersikeras, “Itu setting-an! Dunia ini hologram!”
Karena itulah kita tidak sedang berhadapan dengan kelompok kritis, melainkan sekelompok fanatik fiktif, yang membuat realitas alternatif mereka sendiri. TPUA ini ibarat sutradara film konspirasi, tapi sayangnya mereka main di genre yang salah dan skenarionya ditulis dengan pena kebencian dan tinta ilusi.
Lucunya lagi, setelah hasil uji forensik menyatakan ijazah Jokowi itu asli, mereka malah mendesak digelarnya “gelar perkara khusus.” Alasannya? Karena mereka tidak puas. Jadi intinya, kalau mereka tidak senang dengan hasil investigasi, maka investigasinya harus diulang sampai mereka senang. Ini bukan cara kerja hukum, Bung. Ini cara kerja anak TK yang kalah main ular tangga.
Lebih lucu lagi, mereka tetap menggembar-gemborkan ide konspirasi padahal ijazah asli itu sudah dikembalikan kepada Jokowi. Dan kalau pun nanti dibutuhkan, pemilik ijazah akan menampilkannya langsung di pengadilan. Tapi ya itu tadi, bahkan kalau Jokowi membawa ijazah itu dan memperagakan bagaimana dia menulis skripsi, TPUA bisa saja bilang, “Itu bukan tulisan tangan asli. Harus diuji grafolog.”
Mereka tidak butuh kebenaran. Mereka hanya butuh panggung. Mereka butuh perhatian, seolah-olah masih ada penonton yang ingin melihat opera sabun mereka yang tak habis-habis ini. Mereka sudah terlalu lama hidup dalam dunia di mana kata "bukti" hanyalah dekorasi, bukan fondasi.
Publik pun makin banyak yang jengah. Sejak Bareskrim menyatakan keaslian ijazah Jokowi, mayoritas masyarakat, termasuk para ahli hukum, akademisi, dan bahkan sebagian besar netizen yang biasanya skeptis, sepakat: ini perkara selesai. Tapi TPUA terus saja menyanyi lagu lama, dengan irama sumbang, berharap ada yang masih mau menari bersamanya. Padahal, satu-satunya yang masih menari mungkin hanya ego mereka sendiri, dan itu pun dengan langkah yang pincang.
Dan mari jujur: kalau memang ada niat baik dan kejujuran intelektual dari TPUA, mereka akan menyambut baik klarifikasi resmi dari institusi seperti Bareskrim. Tapi kenyataannya, mereka menolak setiap hasil yang tidak sesuai dengan kesimpulan yang sudah mereka buat sejak awal. Ini bukan investigasi. Ini adalah ritual mengukuhkan keyakinan, meski dunia berkata sebaliknya.
Tidak heran kalau publik sekarang menyamakan TPUA dengan klub pencinta teori bumi datar. Bedanya, yang satu tidak percaya gravitasi, yang satu lagi tidak percaya ijazah. Sama-sama hidup dalam dongeng buatan sendiri, dan merasa bangga menolak logika.
Dalam dunia hukum, kebenaran tidak ditentukan oleh seberapa keras seseorang berteriak, atau seberapa sering mereka mengulang narasi. Tapi TPUA tampaknya lebih mengandalkan frekuensi bicara daripada validitas bukti. Jika keraguan bisa diulang ribuan kali, mungkin mereka pikir itu bisa menjadi kebenaran. Sayangnya, dunia nyata tidak bekerja seperti Twitter.
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan yang menyedihkan sekaligus lucu: TPUA tidak sedang mencari kebenaran. Mereka hanya sedang mencari panggung untuk meratapi keyakinan mereka yang terus ditampar realita. Dan mereka akan terus berdiri di sana, menggenggam papan bertuliskan “Ijazah palsu!” sementara kereta kebenaran sudah lama berlalu, meninggalkan mereka di peron yang penuh halusinasi.
Dan untuk Bareskrim Polri, kita ucapkan terima kasih dan simpati. Karena selain harus bekerja secara ilmiah, profesional, dan objektif, mereka juga harus tahan mental menghadapi ocehan demi ocehan dari para “detektif spiritual” yang lebih percaya intuisi daripada bukti.
Tapi ya begitulah: negara hukum tak bisa tunduk pada suara gaduh. Ia hanya tunduk pada logika, prosedur, dan integritas. Dan dalam hal ini, TPUA boleh saja berteriak sampai serak, tapi hukum sudah bicara. Dan sayangnya bagi mereka, suara hukum tidak bisa dipalsukan. Tidak seperti asumsi.
Apa Reaksi Anda?






